Senin, 19 September 2011

Kumpulan Tulisan

        Koalisi Seniman untuk Restorasi Indonesia

CATATAN

RIDWAN EFFENDY
Koordinator
PAKARENA
Performing Art Network

Kalian menderas di atas jalan layang, kami berada di bawahnya/Kalian berada di gedung-gedung bertingkat, kami berlindung di bawah bayang-bayangnya/Kalian makan pisang, kami dapat kulitnya/Kalian selalu menyuruh kami berdoa, tapi kalian juga yang merasakan nikmatnya hidup. (“Pemulung” karya Sutardji Calzoum Bachri)

Kuatnya cengkeraman pragmatisme politik dan ekonomi akibat iklim neoliberalisme dan neokapitalisme yang melanda bangsa ini telah melahirkan elite-elite penguasa yang berhasrat, berorientasi, dan berupaya secara berlebihan untuk merebut dan kemudian melanggengkan kekuasaan yang korup, manipulatif, serta bergelimang harta dan kekayaan.
Para elite penguasa itu tidak hanya mahir bersiasat untuk merebut kekuasaan dan meraup kekayaan, tetapi juga piawai memainkan dan menyiasati hukum untuk kepentingan diri dan kelompoknya maupun agar lolos dari jeratannya.
Gaya hidup mewah dan prilaku korup elite penguasa di semua institusi, dari pusat hingga daerah, kini menjadi santapan sehari-hari rakyat yang semakin banyak menganggur dan hidup dalam kemiskinan serta hanya punya “hak” pada saat pemilihan umum.
Betapa rapuh kehidupan demokrasi bangsa ini tercermin dari kualitas demokrasi di Indonesia yang menurut Indeks Demokrasi Global yang dikeluarkan Economist Intelligence Unit tahun 2010 berada pada peringkat ke-60 di bawah China yang ada di urutan ke-36, Afrika Selatan (ke-30), Thailand (ke-57), Papua Niugini (ke-59), dan bahkan Timor Leste (ke-42).
Sementara itu, hasil survei Transparansi Internasional menyebutkan peringkat korupsi Indonesia justru naik pada tahun 2010 ke posisi 110 dari 178 negara yang disurvei.
Prilaku korupsi, terlebih yang berlangsung secara kolosal dan spektakuler seperti di negeri ini, bukan lagi hanya soal pencurian dan penggelapan uang negara, melainkan juga menyangkut kerusakan moral bangsa dan pembusukan kehidupan bersama.
Ironisnya, akibat elite penguasa di daerah meneladani dan mewarisi prilaku korup  dan hedonis elite penguasa di pusat, gerakan reformasi dan kebijakan otonomi daerah rupanya gagal pula menjadi momentum untuk mengamputasi korupsi serta memberdayakan masyarakat lokal.
Keresahan, pesimisme, dan frustrasi rakyat melihat kondisi bangsa yang terpuruk berkepanjangan akibat ketidakbecusan elite penguasa mengelola negeri ini telah melemahkan sendi-sendi kesatuan dan persatuan, menumpulkan rasa memiliki Indonesia sebagai warisan bersama, dan di sana-sini memicu radikalisme.
Namun, alih-alih melihat pemicunya adalah ketimpangan struktural dan kemiskinan absolut yang disebabkan rusaknya moral penyelenggara negara, elite penguasa malah kerap berdalih bahwa timbulnya radikalisme yang mengancam integrasi nasional tersebut lebih disebabkan oleh kendornya nasionalisme, surutnya rasa persatuan dan kesatuan, serta goyahnya kepribadian bangsa di kalangan rakyat.
Konsep nasionalisme, persatuan dan kesatuan, serta kepribadian bangsa di tangan elite penguasa yang korup rupanya menjadi semacam counterconcept yang statis, tertutup, defensif, dan restriktif. Bukannya menjadi konsep yang dinamis, terbuka, dan menyerap.
Sebab, agaknya, elite penguasa lebih mudah merumuskan seperti apa yang bukan nasionalisme, kesatuan dan persatuan, serta kepribadian bangsa daripada menjelaskan substansi nasionalisme, kesatuan dan persatuan, dan kepribadian bangsa itu sendiri.
Sama halnya mereka lebih mudah misalnya untuk merumuskan apa yang bukan demokrasi Pancasila atau ekonomi Pancasila daripada menjelaskan hakikat demokrasi Pancasila atau ekonomi Pancasila.

Koalisi Seniman
Munculnya semacam anekdot atau ungkapan sarkastis di tengah masyarakat bahwa korupsi sudah menjadi budaya dan para koruptor adalah budayawan merupakan olok-olok ironis terhadap counterconcept semacam nasionalisme, kesatuan dan persatuan, demokrasi Pancasila, ekonomi Pancasila, kepribadian bangsa, dan sebagainya yang tidak pernah jelas apalagi terimplementasi dengan baik tersebut.
Olok-olok itu bukan saja suatu paradoks bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang beradab, melainkan juga sinisme terhadap distorsi atau penjungkirbalikan makna budaya yang seharusnya manusiawi dan memanusiakan tersebut.  
Maka, di tengah kehidupan bangsa yang rapuh, stagnan, serta nyartis chaos dan mendekati kolaps, saatnya kini segenap komponen dan elemen bangsa dari berbagai lapisan, bidang, kelompok, dan profesi, yang masih memiliki akal sehat dan hati nurani, melakukan gerakan restorasi Indonesia demi tegaknya moral dan eksistensi bangsa.
Salah satu langkah untuk merestorasi Indonesia yang runyam dan carut-marut di pelbagai aspek kehidupannya, muncul dari kalangan seniman yang menggagas Koalisi Seniman Indonesia (KSI) untuk restorasi kehidupan seni-budaya pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya.
KSI yang kini sedang disiapkan kelahirannya oleh sejumlah seniman dari berbagai daerah itu akan melakukan aksi untuk mewujudkan medan seni Indonesia yang memiliki integritas, kekuatan moral, infrastruktur berkelanjutan, dan kelembagaan yang kokoh melalui kegiatan advokasi kebijakan publik terkait pengembangan kesenian, penggalangan dan pengelolaan sumber daya bagi usaha-usaha pengembangan kesenian, pembelajaran bersama, serta mobilisasi dukungan dan partisipasi masyarakat.
Jelas KSI digagas bukan semata karena adanya ungkapan sinis bahwa korupsi sudah menjadi budaya dan koruptor bakal disebut budayawan di negeri ini. Akan tetapi, lebih dan terutama adalah gerakan seniman untuk ikut berperan lebih aktif menyelamatkan bangsa dan negara ini dari ulah destruktif elite penguasa.
 Pertemuan-pertemuan untuk mensosialisasikan dan mematangkan persiapan kelahiran KSI antara para penggagas dengan kalangan seniman telah berlangsung di berbagai daerah sejak tahun lalu hingga 2011 ini, yaitu di Bogor, Yogyakarta, Bandung, Padang, Surabaya, dan Jakarta. Di Makassar pertemuan berlangsung akhir Juni lalu dan dihadiri 30-an orang seniman dari berbagai bidang, lembaga, dan kelompok seni. Pertemuan serupa masih akan bergulir ke kota-kota lainnya sebelum diadakan pertemuan nasional. 
Kalangan seniman pada pertemuan di Makassar menggambarkan bagaimana pembangunan seni dan budaya di Sulawesi Selatan ini tanpa dilandasi kebijakan, strategi, dan implementasi yang jelas, minus kelembagaan dan infrastruktur yang kokoh, tidak disertai kemitraan maupun keterbukaan akses pendanaan, serta dengan demikian program dan proyek seni-budaya lebih mudah menjadi lahan korupsi dan manipulasi pejabat/instansi terkait. 
Dilihat dari sisi itu, gerakan reformasi dan kebijakan otonomi daerah rupanya hanya menghasilkan gemuruh slogan, jargon, dan semboyan politik yang bombastis dan manipulatif maupun sekadar sebagai perluasan medan atau lahan dan jaringan korupsi hingga ke daerah ini.
Sebagai salah satu elemen atau komponen masyarakat Indonesia yang sadar akan realitas kehidupan bangsanya yang terpuruk, seniman di daerah ini pun dituntut untuk tidak saja berempati terhadap rakyat yang tengah terlilit kemiskinan dan terkebiri hak-haknya, tetapi juga seyogianya segera bangkit dan berperan aktif melawan korupsi berjamaah, kolosal, dan spektakuler yang dipertontonkan elite penguasa di seluruh tanah air.
 Di balik itu, panggilan tersebut terutama dan sejatinya lebih diterima oleh kalangan seniman sebagai suatu misi untuk mengatasi krisis, kemandekan, atau impasse kebudayaan yang merupakan akar masalah kerusakan moral elite penguasa dan tiadanya kepemimpinan yang visioner dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. []



Men-sinrilik-kan Pancasila dan     Mem-pancasila-kan Sinrilik



CATATAN

RIDWAN EFFENDY
Koordinator
PAKARENA
Performing Art Network


Setelah menyelenggarakan tiga putaran atau serial, Batuputih Trans Syndicate bersama Nasional Demokrat (Nasdem) kembali mengadakan dialog bergaya sinrilik pada hari Jumat tanggal 27 Mei 2011 pukul 14.30 wita di Morante Room Hotel Singgasana Makassar. Penyelenggaraan dialog kali ini agak istimewa karena selain dilaksanakan bukan pada hari Rabu antara pukul 09.00 hingga 11.00 wita di kedai kopi atau kafe seperti putaran-putaran sebelumnya, juga pokok bahasannya mengusung tema besar terkait peringatan hari lahir Pancasila tanggal 1 Juni 2011, yaitu “Pancasila dalam Tafsir Masa Kini”, dengan pembicara tamu pengamat politik Reform Institute Yudi Latif yang juga penulis buku “Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila”.
Serial dialog berbingkai sinrilik edisi khusus dengan perbincangan tentang Pancasila ini menarik karena mengingatkan kita pada kehadiran “sinrilik Pancasila” pada masa pemerintahan Orde Baru. Waktu itu, materi sinrilik berupa butir-butir penjabaran kelima sila Pancasila yang dibacakan pasinrilik disiapkan oleh BP7, yaitu suatu lembaga yang bertugas dan bertanggung jawab mengurusi sosialisasi dan penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
Banyak kalangan yang sinis ketika itu karena melihat bagaimana sebuah wujud ekspresi seni budaya lokal yang bersifat kreatif telah dipaksakan secara sepihak atau sewenang-wenang untuk menjadi alat indoktrinasi ideologi negara yang bersifat“top down”. Masyarakat pendukungnya, khususnya para pelaku aktif (active bearer) sinrilik, hanya ditempatkan sebagai pelaksana dari agenda atau program rejim penguasa Orde Baru belaka. Mereka tidak dilihat sebagai masyarakat yang memiliki aspirasi, harapan, dan kreativitasnya sendiri dalam menanggapi lingkungannya yang berubah menjadi bagian dari negara kesatuan Republik Indonesia.
Tekanan mental yang mengalienasi secara eksistensial inilah yang dialami pasinrilik serta masyarakat pendukung sinrilik pada masa itu. Mereka terseok-seok menjaga roh dan wujud sinrilik sebagai pengucapan estetik warisan budaya leluhur mereka di hadapan rejim penguasa yang represif dan hegemonik.
Alhasil, kehadiran “sinrilik Pancasila” itu menegaskan tergerusnya kehidupan masyarakat dan budaya lokal Makassar oleh kekuatan memaksa yang bersifat sepihak dari rejim penguasa Orde Baru yang mengatasnamakan konsensus dan agenda Nasional.

Komunikasi Khas

Di balik penggerusan tradisi lisan etnik Makassar itu membuhul preasumsi bahwa ideologi negara Pancasila beserta sistem Nasional yang menyangganya merupakan daya integrasi dan progresi yang akan membawa kemajuan dan kesejahteraan sebangsa. Untuk itu, sebagai kelanjutan praanggapan tadi, nilai-nilai beserta perangkat norma dan institusi sistem Nasional perlu dan harus dimapankan ke seluruh wilayah Tanah Air.
Dengan demikian, Pancasila tidak sekadar di-sinrilik-kan, tetapi sinrilik itu pun di-pancasila-kan. Namun, celakanya, karena Pancasila yang di-sinrilik-kan dan sinrilik yang di-pancasila-kan itu berkutat pada pusaran butir-butir tafsir kelima sila Pancasila versi BP7 yang dibentuk oleh rejim penguasa Orde Baru.
Karena itu, timbullah berbagai masalah dalam praktek pemapanan ideologi negara secara massif dan sepihak tersebut. Ideologi dan sistem Nasional yang didesakkan ke wilayah hidup orang Makassar itu terasa asing karena lebih menempatkan rakyat sebagai sekadar objek.
Agaknya sukar dinapikan apabila kemudian Pancasila dipandang sebagai semacam monster atau tentakel yang mencengkeram atau menyergap masyarakat etnik Makassar. Sebagai sandera atau tawanan “kekuasaan asing”, mereka pun menjadi tidak berdaya, kehilangan elan kreatif, dan akhirnya apatis.
 Pasinrilik beserta khalayak pendengarnya (to akrappungang) pada masa Orde Baru itu pun kemudian menjadi kalangan yang termarginalkan yang terpaksa menempatkan nilai-nilai tradisional mereka sebagai pilihan etik individual belaka.
Belajar dari kenyataan itu, patutlah kiranya apabila kini sinrilik diberikan keleluasaan untuk menafsirkan Pancasila sebagai ideologi negara atau pandangan dunia bangsa Indonesia dari sudut pandang, sejarah, dan konteks sosialnya sendiri melalui pelbagai kisah legenda berintikan etos sirik na pacce. Sebab, bagaimanapun, Pancasila sejatinya adalah idealisasi dan kristalisasi karakter yang mengendap laten dalam jiwa penduduk Nusantara, termasuk karakter yang beretoskan sirik na pacce masyarakat Makassar yang menjadi pendukung tradisi lisan sinrilik tersebut.
Dasar kehidupan bersama yang bersumber dari idealisasi dan kristalisasi karakter keindonesiaan itulah yang oleh Bung Karno kemudian disarikan ke dalam lima sila yang disebutnya sebagai dasar falsafah (philosofische grondslag) atau pandangan dunia (weltanschauung) negara/bangsa Indonesia ketika berpidato pada tanggal 1 Juni 1945 di sidang Dokuritsu Zyunbi Tjoosakai atau Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) di Gedung Pejambon Jakarta yang di kemudian hari dikenal dan diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila.
Melalui kesadaran akan hakekat Pancasila tersebut maupun dengan terbukanya peluang menafsirkannya dalam konteks sosio budaya masyarakat etnik Makassar, sinrilik dan Pancasila akan saling memperkuat dalam rangka membentuk bangunan pluralisme dalam kebersamaan dan kesatuan “bhinneka tunggal ika”.
Dengan begitu, Pancasila sebagai ideologi negara tidak lagi menyerupai pepesan kosong akibat indoktrinasi “butir-butir Pancasila” ala BP7 yang verbal dan minus substansi.
Sinrilik dengan konvensi dan kodenya yang khas sudah selayaknya dileluasakan untuk mentransformasikan dan mempersuasikan nilai-nilai Pancasila secara otentik. Keleluasaan itu dengan sendirinya akan menghadirkan nilai-nilai Pancasila melalui wujud komunikasi khas sinrilik dengan segenap tokoh dan latar ceritanya yang tumbuh dan berkembang dalam alam kehidupan dan imajinasi masyarakat pendukungnya yang sedang berproses menjadi bagian dari bangsa Indonesia.
Men-sinrilik-kan Pancasila dan mem-Pancasilakan sinriik dengan demikian akan lebih bermakna sebagai upaya pembumian atau pengakaran Pancasila sebagai ideologi negara dan pandangan dunia bangsa Indonesia.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar